Kamis, 23 Desember 2010

azas azas pemerintahan yang baik

PENDAHULUAN

pemerintahan dapat dipahami difahami dari dua pengerttian yaitu : disatu pihak fungsi pemerintahan (kegiatan memerintah), dilain pihak dalam arti “organisasi pemerintahan” yang berarti (kumpulan dari kesatuan- kesatuan dalam pemerintahan)
pemerintahan dalam arti luas dan sempit
         Pemerintahan (luas) semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat-alat kelengkapan negara atau aparatur negara yang menjalankan pelbagai macam kegiatan atau aktivitas untuk menbcapai tujuan negara.
         Pemerintah (luas) semua lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif (John Locke dan Mosteqiueu)
Apakah sebenarnya fungsi pemerintahan itu? fungsi pemerintahan  itu dapat ditentukan sedikit banyak dengan menempatkannya dalm hubungan dengan fungsi perundang- undangan peredilan
pemerintahan  dapat dirumeudkan secara negatip sebagai segala macam kegiatan pnguasa yang itdak dapat disebutkan sebagai suatu kegiatan penguasa yang tidak dapat disebutkan sebagia suatu kegiatan atau perundang- undangan.Perbedaan antara perundang-undangan, peradilan dan pemerintahan ini mengingat kita pada trias politika.
          banyak jenis pemerintahan yang tidak dapat sebagai pelaksanaan dari pekerjaan umum. ada juga ahli hukum administrasi yang mengatakan bahwa pelaksanaan kekuasaan yang terdiri atas perundang- undangan yang lebih lanjut (peraturan umum tentang pemerntahan, peraturan dari pihak penguasa yang lebih rendah) tidak dapat dikategorikan dalam hukum administrasi.


a.Perkiraan Keabsahan

            Pergeseran konsepsi nachwachtersstaat (Negara ronda) ke konsepsi welfare state membawa pergeseran pada peranan dan aktivitas pemerintah. pada konsepsi nachwachtersstaat berlaku prinsip staatsonthouding yaitu pembatasan Negara dan pemerintah dari kehidupan social dan masyarakat. pamerintah bersifat pasif hanya menjaga kektertban dan keamanan masyaraakat. sementara itu pada konsepsi welfare statet pemerintah diberi kewajiban untuk mewujudkan bertuurzorg kesejahteraan umum), yang untuk itu kepada pemerintah diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam segala kehidupan  masyarakat. artinyapemerintah dituntut untuk bertindak aktif ditengah kehidupan inamika masyarakat.
            pada dasarnya segala bentuk campur tangan pemerintah ini harus didasarkan pada peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagai perwujudan dari asas legalitasyang menjdi sendi utama Negara hukum. akan tetapi karena ada keterbatasan  dari asas ini atau karena adanya kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada peraturan perundang- undangan sebagai telah dijelaskan diatas, kepada pemerintah diberi kebebasan



b.Azas- Azas Pemerintahan Yang Baik

Dikalangan penulis HAN di indonesia terdapat perbedaan penerjemahan algemene begiselen van behoorjelijk bestuur terutama menyangkut kata begin selen dan behoorlijk. ada yang menerjemahkan kata beginselen dengan prinsip- prinsip, dasar- dasar, dan asas- asas. sementara itu kata behojilk diterjemahkan dengan yang sebaiknya,yang baik, yang layak dan yang patut. dengan penerjemahan ini algemen beginselen van behorjilk bestuur menjadi prinsip- prinsip atau dasar- dasar atau asas- asas umum pemerintahan yang baik atau yang sebaiknya.
Azas azas pemerintahan yang patubaik, dapat menimbulkan salah pengertian. kata azas sebenarnya dapat memiliki beberapa arti. kata ini mengandung arti titik pangkal, dasar- dasar, atau aturan hukum fundamental [1]

            Pemerintahan yang baik (layak) sebagai asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang layak (baik) yang dengan cara demikian penyelenggaran pemerintahan itu menjad baik, sopan, adil,dan terhoormat, bebas dari kezhaliman, pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang- wenang. [2]

Yang dimaksud dengan asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi atas kepastian hukum, tertib penyelenggara negara,  keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Azas Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia

dlam uu no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang bersh bebas dari korusi, kolusi dan nepotisme (KKN). dengan format yang berbeda dari belanda. yaitu :
  1. asas kepastian hukum, yaitu azas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang- undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakanpenyelenggara Negara
  2. asas tertib penyelenggara Negara, yaitu asa yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara
  3. asas kepentingan hukum, yaitu asas mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif dan selektif.
  4. asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap diri masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak diskriminatif tenteng penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan ats hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
  5. asas proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara
  6. asas profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan pereturan perundang- undangan yang berlaku.
  7. asa akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negera harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undagan yang berlaku   

PEMBAGIAN AAPUL
Berkenan dengan ketetapan (beshikking), AAUP terbagi dalam dua bagian yaitu: asas yang bersifat formal dan prosedurial dan asas yang bersifat materia atau substansial. menurut P. nicolai. asa yang bersifat formal berkenaan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalm setiap pembatan ketetapan, atau asas yang berkaitan dengan cara- cara pengambilan keputusan seperti asas kecermatan, yang menuntut pemerintah untuk mengambil keputusan dengan persiapan yang cermat, dan asas pemerintahan yang layak (fair play beginsel)
menurut Indroharto, asas-asas pemrintahn yang bersifat formal yaitu asas- asas yang pemting artinya dalam rangka menyiapkan susunan dan motivasi dari suatu beschikking. Asas- asas yang bersifat materil tammpak pada isi keputusan pemerintah. sedangkan asas materil atau substansial ini adalah asas kepastian hukum, asas  persamaan, asas larangan sewenang- wenang dan larangan penyalagunaan kewenangan.


[1] Hukum Administrasi Negara Ridwan HR hal 249
[2] Ibid, hal 247

Rabu, 22 Desember 2010

contoh surat pernyataan tidak bekerja

SURAT PERNYATAAN
TIDAK BEKERJA/ DALAM STATUS IKATAN DINAS DAN TIDAK SEDANG DALAM MEMPEROLEH BEASISWA
DARI BADAN/LEMBAGA/INSTANSI/YAYASAN LAIN


Saya yang bertanda dibawah ini :

NAMA : DUHARIADIN SIMBOLON
NIM : 220808801
FAKULTAS: SYARI’AH
JURUSAN : PERBANDINGAN HUKUM DAN MAZHAB

Dengan ini menyatakan saya :
1. Tidak bekerja/ dalam status Ikatan Dinas dan Tidak Sedang Memperoleh Beasiswa dari Badan/ Lembaga/ Instansi/ Yayasan lain.
2. Bersedia menerima sanksi / hukuman bila pernyataan saya ini tidak benar.

Demikian pernyataan saya ini saya perbuat dengan sesungguhnya.


Medan, 24 Maret 2010
Yang membuat pernyataan





MIZZWAR DIRHAMSYAH

asuransi syariah makalah

A s u r a n s i s y a r i a h

Dalam Bahasa Arab asuransi Syariah dikenal dengan istilah At- Ta’min, penanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. At- Ta’min diambil dari amanah yang artinya memberi perlindungan, ketenangan rasa aman, dan bebas dari rasa takut seperti yang disebut dalam Al- quran quroisy : 4
Yaitu dialah allah yang mengamanakan mereka dari ketakutan.
Ahli fikih kontemporer wahbah az- zuhaili mendefenisikan asuransi berdasarkan pembagiannya ia membagikan asuransi dalam dua bentuk yaitu
1. At- ta’min at- ta awuni (asuransi tolong menolong) yaitu : kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat kemudaratan.
2. At- ta’min bi qist sabit atau asuransi dengan pembagian tetap adalah akad yang mewajibkan seorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.
Mustafa ahmad az- zarqa memaknai asuransi adalah sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya atau dlam aktivitas hidupnya. Dewan syariah nasional pada tahun 2001 telah mengeluarkan fatwah mengenai asuransi syariah. Dalam fatwa DSN No 211 /DSN –MUI/x/2001 bagian pertama mengenai ketentuan umum angka 1, disebutkan pengertian asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong antara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) sesuai dengan syariah.
Menurut fuad mohd. Fachruddin yang dimaksud dengan asuransi ialah suatu perjanjian- peruntungan .

A. Sejarah asuransi syariah
Perkembangan asuransi dalam sejarah Islam sudah lama terjadi. Istilah yang digunakan tentunya berbeda-beda, tetapi masing-masing memiliki kesamaan, yaitu adanya pertanggungan oleh sekelompok orang untuk menolong orang lain yang berada dalam kesulitan.
Dalam Islam, praktik asuransi pernah dilakukan pada masa Nabi Yusuf as. yaitu pada saat ia menafsirkan mimpi dari Raja Firaun. Tafsiran yang ia sampaikan adalah bahwa Mesir akan mengalami masa 7 (tujuh) panen yang melimpah dan diikuti dengan masa 7 (tujuh) tahun paceklik. Untuk menghadapi masa kesulitan (paceklik) itu, Nabi Yusuf as. me¬nyarankan agar menyisihkan sebagian dari hasil panen pada masa tujuh tahun pertama. Saran dari Nabi Yusuf as. ini diikuti oleh Raja Firaun, sehingga masa paceklik bisa ditangani dengan baik.. Pada masyarakat Arab sendiri terdapat sistem 'agilah yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak masa pra-Islam. Aqilah merupakan cara penutupan (istilah yang digunakan oleh AM. Hasan Ali) dari keluarga pembunuh terhadap keluarga korban (yang terbunuh). Ketika terdapat seseorang terbunuh oleh anggota suku lain, maka keluarga pembunuh harus membayar diyat dalam bentuk uang darah. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW. yang dapat terlihat pada Hadis berikut ini.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut kepada Rasulullah SAW., maka Rasulullah SAW. memutuskan ganti, rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki). (FR. Bukhari)"
Praktik 'aqilah yang dilakukan oleh masyarakat Arab ini sama dengan praktik asuransi pada saat ini, di mana sekelompok orang mem¬bantu untuk menanggung orang lain yang tertimpa musibah. Dalam hal kaitannya dengan praktik pertanggungan ini, Nabi Muhammad SAW. juga memuat ketentuan dalam pasal khusus pada Konstitusi Madinah, yaitu Pasal 3 yang isinya: "Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan pertanggungan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang darah di antara mereka"
Dibidang bisnis inilah asuransi semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan terhadap barang-barang perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan kesesuaian praktik asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya kajian terhadap praktik perekonomian dalam perspektif hukum Islam, asuransi mulai diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan syariah. Pada paruh kedua abad ke-20 di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika telah mulai mencoba mempraktikkan asuransi dalam bentuk takafL, yang kemudian berkembang dengan pesat hingga ke negara-negara yang berpenduduk nonmuslim sekalipun di Eropa dan Amerika.

B. Jenis-jenis Asuransi
Asuransi yang terdapat pada negara- negara yang didunia ini bermacam- macam. Hal ini terjadi karena bermacam- macam pula sesuatau yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini macam-macam asuransi itu.
a. Asuransi Timbal Balik
b. Maksud dengan asuransi timbal balik adalah beber4pa orange memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringifan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi iuran yang barn untuk persiapan selan¬jutnya, demikianlah seterusnya.
c. Asuransi Dagang
Asuransi dagang adalah beberapa manusia yang senasib bermu¬fakat dalam mengadakan pertanggungjawaban bersama memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota mereka. Apabila timbul kecelakaan yang merugikan salah seorang anggota kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruhuh orang yang tergabung dalam perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran) yang "telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman semasyarakat
d. Asuransi Pemerintah.
Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran 4arga kerugian kepada siapa saja yang menderita di wakt4,~qjadinp suatu kejadian yang merugikan tanpa mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang ads karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi. Asu¬ransi pemerintah dilakukan secara obligator atau paksaan dan dilakukan oleh badan-badan yang telah ditentukan untuk masing-masing keperluan.
e. Asuransi Jiwa
Maksud asuransi jiwa adalah asuransi atas jiwa crang-orang yang mempertanggungkan atas jiwa orang lain, penanggung (asurador) berjanji akin membayar sejumlah uang kepada orang yang- disebutkan namanya. dalam poli; apatlila yang mem¬pertanggungkan,(yang ditanggung) meninggal, dt. nia atau sesudah melewati mass-mass tertentu.
f. Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan
Asuransi atas bahaya yang menimpa badan adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakari-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mats, asuransi telinga, asuransi Langan, atau asuransi atas penyakit¬penyakit ' tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh- buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.
g. Asuransi terhadap Bahaya-bahaya Pertanggungjawaban sipil
Maksuld asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungjawaban sipil adalah asuransi yang diadakan terhadap bends-bends, seperti asuransi rumah, perusahaan, mobil, kapal udara, kapal laut motor,- dan yang lainnya. Di RPA asuransi mengenai mobil dipaksakan
Jenis-jenis asuransi yang berkembang di Indonesia dewasa ini jika dilihat dari segi.kepemilikannya. Dalam hal ini yang dilihat adalah siapa pemilik dari perusa¬haan asuransi tersebut, baik asuransi kerugian, asuransi jiwa ataupun reasuransi.
a. Asuransi milik pemerintah
Yaitu asuransi yang sahamnya dimiliki sebagian besar atau bahkan 100 persen oleh pemerintah Indonesia.
b. Asuransi milik swasta nasional
Asuransi ini kepemilikan sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh swasta nasional sehingga siapa yang paling banyak memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam Rapat Umum Pemegang Sahara (RUPS).
c. Asuransi milik perusahaan asing
Perusahaan asuransi jenis ini biasanya beroperasi di Indonesia hanyalah merupakan cabang dari negara lain dan jelas kepemilikannya pun dimiliki oleh 100 persen oleh pihak asing.
d. Asuransi milik campuran
Merupakan jenis asuransi yang saharnnya dimiliki cam¬puran antara swasta nasional dengan pihak asing .

C. Falsafah dasar asuransi syariah
Konsep asuransi Islam berasaskan konsep takaful yang rnerupakan perpaduan rasa tanggung jawab dan persaudaraan antara peserta. Kata takaful berasal dari bahasa Arab yang berakar dari kata takafala¬yatakafalu. Ilmu tashrif atau sharaf memasukkan kata takaful ke dalam kelompok bins muta'adi yaitu tafaa'aala yang artinya saling menanggung atau saling menjamin." Untuk itu, harus ada suatu persetujuan dari para peserta takaful untuk memberikan sumbangan keuangan sebagai derma (tabarru) karma Allah semata dengan niat membantu sesama peserta yang tertimpa musibah, seperti kematian, bencana, dan se¬bagainya. Adapun prinsip-prinsip asuransi Islam dijelaskan berikut ini.
I. Saling Bertanggung Jawab
Hal ini sesuai dengan tuntunan Hadis-hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, sebagai berikut:
Hadis Nabi Muhammad SAW.:
a. Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang Yang beriman antara satu dengan lainnya seperti satu tubuh, apa¬bila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasakannya." (diriwayatkan oleh Al-Bukhari clan Muslim)
b. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat sebuah bangunan yang tiap-tiap bagiannya Saling menguatkan bagian yang lain." (diriwayatkan oleh Al-Bukhari clan Muslim)
c. Setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab, dan setiap kamu bertanggung jawab atas orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya" (diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim).
d. Seseorang belum dikatakan beriman sebelum ia mencintai sau¬daranya seperti ia mencintai dirinya sendiri." (diriwayatkan oleh Bukhari)
e. Barangsiapa yang tidak mempunyai perasaan belas kasihan, maka ia tidak akan mendapatkan belas kasihan (dari Allah)." (diriwayat¬kan oleh al-Buhkari dan Muslim)
II Saling Bekerja Sama Untuk Bantu Membantu
Hal ini sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur'an, dan Hadis Rasulullah SAW. sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, clan Abu Daud, sebagai berikut:
a. Al-Qur'an
QS. al-Maidah (5): 2
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggar an...
b. Hadis Nabi Muhammad SAW:
1) "Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya." (diriwayatkan oleh all-Bukhari dan Muslim dan Abu Daud)
2) "Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia menolong sesamanya." (diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud) .
III. Saling Melindungi Dari Segala Kesusahan
Hal ini sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dalam Al Qur'an dan Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Al-Bazzar, sebagai berikut:
a. A[-Qur'an
QS. Quraisy (106): 4.
(Allah) yang telah memberi makan kepada mereka untuk inenghilang¬kan lapar dan mengamankan mereka diri ketakutan."
Hadits nabi muhammad SAW
1. Sesungguhnya seseorang yang beriman itu ialah barang siapa yang memberi keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa raga manusia (diriwayatkan oleh ibnu majagh)
2. Demi diriku yang dalam kekuasaann Allah bahwasanya tiada seorang pun yang masuk surga sebelum mereka memberi perlin¬dungan kepada tetangganya yang berada dalam kesempitan." (di¬riwayatkan oleh Ahmad)
3. Tidaklah beriman seseorang itu selama ia dapat tidur nyenyak dengan perut kenyang sedangkan tetangganya meratap karena kelaparan." (diri-wayatkan oleh Al- Bazzaar)
Dengan demikian, falsafah asuransi Islam adalah penghayatan ter¬hadap semangat saling bertanggung jawab, kerja sama dan perlindungan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, demi tercapainya kesejahteraan umat dan masyarakat umumnya. sebagai makhluk yang lemah, manusia harus senantiasa sadar bahwa keberadaannya tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau sesamanya. Solusinya adalah Firman Allah SWT. dalam QS. al-Maidah (5): 2, sebagai berikut:
"... Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa clan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."
Di sisi lain, manusia memiliki sifat lemah dalam menghadapi "ke¬jadian yang akan datang. Sifat lemah tersebut berbentuk ketidaktahu¬annya terhadap kejadian yang akan menimpa pada dirinya. Manusia tidak dapat memastikan bagaimana keadaannya pada waktu di kemu¬dian hari (future time). Firman Allah SWT. telah ditegaskan dalam QS. Luqman (31): 34 sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [31]: 34)
Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa'adah al-daraini), seperti Firman Allah SWT. dalam QS. Al¬-baqarah (2): 201,
adapun salah satu caranya adalah dengan menyiap¬kan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa datang agar segala sesuatu yang bernilai negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran ataupun kematian, dapat diminimalisir kerugiannya. Hal semacam ini telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf as. secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Firman Allah SWT. dalam QS. Yusuf (12): 46-49.
Ayat di atas memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini (baca: modern) yang secara ekonomi dituntut agar mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang.

Perbedaan antara Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah

No
Prinsip Asuransi Asuransi syariah
1 Konsep Perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertang-
gang, dengan menerima premi asu-
ransi, untuk memberikan pergantian
kepada tertanggung. Sekumpulan orang yang saling mem
bantu, saling menjamin, dan bekerja
sama, dengan cara masing-masing
mengeluarkan dana tabarru'.
2 Sumber hokum Bersumber dari pikiran manusia dan
kebudayaan. Berdasarkan hukum
positif, hukum alami, dan comoh se-
belumnya. Bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber
hukum dalam syariah Islam adalah
Al-Qur'an, Sunnah atau kebiasaan
Rasul, Ijma', Fatwa Sahabat, Qiyas,
Istihsan, 'Urf 'tradisi', dan Mashalih
Mursalah.
3 DPS
(Dewan pengawas syariah) Tidak ada, sehingga dalam banyak
praktiknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara'. Ada, yang berfungsi untuk mengawasi
pelaksanaan operasional perusahaan
agar terbebas dart praktik-praktik
muamalah yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah.
4 jaminan/Risk
(Risiko) Transfer of risk, di manaterjadi transfer, risiko dari tertanggung kepada pe nanggung. Sharing of risk, di mana terjadi proses
saling menanggung antara satu peser
ta dengan peserta lainnya (taawun).
5 Pengelolaan Dana Tidak ada pemisahan dana, yang bet-
akibat pads terjadinya dana hangus
(untuk produk saving life Pada produk-produk saving life terjadi
pemisahan dana, yaitu dana tabarru'
'derma' clan dana peserta, sehingga
tidak mengenal istilah dana hangus.
Sedangkan untuk term insurance (life)
dan general insurance semuanya ber
sifat tabarru

6 Investasi Bebas melakukan investasi dalam
batas-batas ketentuan perundang-
undangan, dan tdak terbatasi pads Dapat melakukan investasi sesuai ke
tentuan perundang-undangan, se
jang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas, dari
ribs dan ternpat-tempat investasi ter
larang.
7 Kepemilikan dana Dana yang terkumpul dari premi pe-
serta seluruhnya menjadi milik per-
usahaan bebas menggunakan dan
menginvestasikan ke maps insurance. Dana yang terkumpul dari peserta
dalam bentuk reran atau kontribusi,
merupakan milik peserta (shohibul
mal), asurans6syariah hanya sebagai
pemegang amanah (mudharih) dalam
mengelola dana tersebut.

















D. Keuntungan Asuransi
Perusahaan asuransi sebagai lembaga keuangan tentu saja mengharapkan keuntungan atas usaha yang dijalankannya. Keuntungan ini digunakan untuk membiayai seluruh aktivitasnya.
Demikian pula dengan nasabah yang,mengharapkan polis asuransi akan menerima manfaat
dengan jasa asuransi yang digunakannya.
Keuntungan dari usaha asuransi untuk masing-masing pihak adalah sebagai berikut.
1. Bagi Perusahaan Asuransi
a. Keuntungan dari premi yang diberikan ke nasabah.
b. Keuntungan dari hasil penyertaan modal di perusahaan lain
c. Keuntungan dari hasil bungs dari investasi di surat-surat berharga.
2 Bagi Nasabah
a. Memberikan rasa aman.
b. Merupakan simpanan yang pads saat jatuh tempo dapat ditarik kembali.
c. Terhindar dari risiko kerugian atau kehilangan.
d. Memperoleh penghasilan di mass yang akan datang.
Memperoleh penggantian akibat kerusakan atau kehi¬langan
1. Asuransi menyebabkan atau membuat masyarakat dan perusahaan-perusahaan berada dalam keadaan aman. De¬ngan membeli asuransi, para pengusaha atau orang-orang akan menjadi tenang jiwanya. Misalnya agar barang- barangnya dalam sebuah pengiriman terhindar dari kerugian yang terjadi
2. Dengan asuransi efisiensi perusahaan (business efficiency)dapat dipertahankan. Guna menjaga kelancaran perusahaan (going concern)



DAFTAR PUSTAKA

Kasmir, S.E, M.M, bank dan lembaga keuangan lainnya
Dr. H. Salim, Abbas asuransi dan manajemen resiko
Waryaningsi, SH,MH dkk bank dan asuransi islam di indonesia

Dr. H. suhendi, Hendi M.Si, fiqh mumalah

hadits


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis hadirkan ke hadrat ALLAH SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ulumul hadits ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih kepada dosen yang telah menuntun dan membimbing kami dalam menyelesaikan makaah ini.
            Penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca, penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk kesempurnaan makalah ini.


















Medan, … Oktober 2010
                                                Penulis                       



 ( duhariadin simbolon )      



BAB I
PENDAHULUAN


A.    Pengertian Ulumul Hadits

            Ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti "segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” (Mahmud al-thahhan, Tatsir Mushthalah al-hadist (Beirut: Dar Al-qur’an al-karim, 1979), h.14) dengan demikian, gabungan kata 'ulumul-hadist mengandung pengertian "Ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
            Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya. (Jalal al-din’Abd al-Rahman Ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Ed. ‘Abdul Al-Wahhab’ Abd al-Lathif (Madinah: Al-Maktabat al-'Ilmiyyah.cet kedua. 1392 H/1972 M), h. 42; Lihat juga M. Jammaluddin al-Qasimi, Qawa'id al-Tahdist min Funun wa Mushthalah al-Hadist (Kairo: Al-Bab al-Halabi, 1961). H. 75)
            Sedangkan pengertian menurut Muhammad ‘ajjaj a-khathib adalah: Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci. (Lihat M.'Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h.7.
            Definisi yang hampir sama senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-'Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa'id fi 'ulum al-Hadist, Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya. (Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al- Tahanawi, Qawa ‘id fi ‘ Ulum al-Hadist, Ed. ‘Abd al-Fattah Abu Ghuddah (Beirut: Maktabat al-Nahdhah, 1404 H/ 1984).h.22.).
            Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.
            Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
·         Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
·         Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
            Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw. Tersebut, manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bard Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. (“Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 67).
            Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M-124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun Hadis Nabi menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. ("Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits, h. 67).
            Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M-124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Aziz.



B.     Sejarah ilmu hadits

            Pada awalnya Rasulullah shollollahu’alaihiwasallam melarang para sahabat menuliskan Hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-qur’an. Perintah untuk menuliskan Hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin abdul aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin amr hazm al-alsory untuk membukukan Hadits. Ulama yang pertama kali mengumpulkan Hadits adalah Ar-robi bin sobiy dan Said bin abi arobah, akan tetapi pengumpulan Hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan, dhoif, dan perkataan para sahabat.
            Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-muwatho di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu muhammad abdul malik bin ibnu juraiz, di Syam oleh imam Al- auza i, di Kuffah oleh Sufyan at-tsauri, di Basroh oleh Hammad bin salamah.
            Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad (seperti musnad Na'im ibnu hammad). Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shohih Bukhori dan Muslim.

C.    Cabang-cabang Ilmu Hadits

            Cabang-cabang ilmu hadsit dikelompokan menjadi beberapa hal sebagai berikut:
1.      Ilmu Rijal Al Hadist
            Ilmu untuk mengetahui para perawi hadist dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadist ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam bidang ilmu hadist, karena pada saat ini ada dua yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal Al Hadist memberikan pengertian kepada persoalan khusus persoalan seputar sanad
2.      Ilmu Al Jarah wa Ta'dil
            Ilmu yang membahas kecacatan rawi, seperti keadilan dan kedhabitannya. Sehingga dapat ditentukan siapa diantara perawi itu yang dapat diterima atau ditolak hadsit yang diriwayatkannya. Ilmu jarah wa ta’dil ini dikelompokan oleh sebagian ulama kedalam ilmu hadist yang pokok pembahasannya berpangkal kepada sanad dan matan
3.      Ilmu Tarikh Ruwat
            Ilmu untuk mengetahui para pwrawi hadist yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadist. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada aspek kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan

4.      Ilmu Ilalil Hadist
            Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi yang mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan muttasil terhadap hadist munqati menyebat hadist marfu kepada hadsit mauquf.
5.      Ilmu Nasikh wa Mansukh
            Ilmu yang membahas hadist-hadist yang berlawanan yang tidak dapat dipertemukan dengan cara menentukan sebagiannya sebagai nasikh dan sebagian lainnya sebagai mansukh, bahwa yang datang terdahulu disebut Mansukh dan yang datang dinamakan nasikh.
6.      Ilmu Asbabi Wurudil Hadis
            Ilmu yang menerangkan sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya nabi menuturkan itu. Ulama yang mula-mula meyusun kitab ini adalah Abu Hafash Umar ibnu Muhammad Ibnu Rajak Al Ukbary, dari murid Ahmad
7.      Ilmu Ghraib Al Hadist
            Ilmu untuk mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafad-lafad hadist yang jauh dan sulit dipahami, karena lapad-lapd tersebutjarang digunakan. Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama dan para tabi'in pada tahun 150 H mulailah bahasa arab yang tinggi tidak diketahui lagi umum. Satu-satu orang saja lago yang mengetahuinya. Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpul kata-kata yang dipandang tidak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam sesuatu kitab dan mengsarahkannya.
8.      Ilmu Al Tashif
            Ilmu pengetahuan yang berusaha menanamkan tentang hadist-hadist yang sudah diubah titik atau sakalnya atau bentuknya.
9.      Ilmu Muktalif Al Hadist
            Ilmu yang membahas hadist-hadist yang menurut lainnya bertentangan atau berlawanan, kemudian ia menghilangkan pertentangan tersebut atau mengkompromikan antara keduanya, sebagaimana juga ia membahas tentang hadist-hadist yang sulit difahami isi atau kandungannya dengan cara menghilangkan kemuskilan atau kesulitannya serta menjelaska hakikatnya
10.  Ilmu Talfiqiel Hadist
            Ilmu yang membahaskan tentang cara mengumpulkan antara hadist-hadist yang berlawanan lahirnya Dikumpulkan itu adakalanya dengan mentahkhisiskan yang Am atau mentaqyidkan yang mutlak atau dengan memandang banyak kali terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadist diantara para ulama besar yang telah berusaha menuyusun Ilmu ini ialah Al Imamusy Syafi'I, Ibnu Qutaibah, Ibnul Jauzy kitabnya bernama At Tahqiq sudah disarahkan oleh Ustad Ahmad Muhammad Syakir.


 BAB II
ISTILAH-ISTILAH YANG TERDAPAT DI DALAM ULUMUL HADIS

            Pengetahuan tentang istilah-istilah yang terdapat di mi Ulumul Hadis sangat membantu di dalam upaya memahami Ilmu Hadis itu sendiri, dan terutama ketika melakukan penelitian Hadis. Istilah-istilah tersebut ada berhubungan dengan generasi periwayat, kegiatan periwayatan, kepakaran dan jumlah Hadis yang diriwayatkan dengan sumber pengutipan Hadis. Pasal-pasal berikut akan menguraikan istilah-istilah tersebut.

A.      Istilah yang Berhubungan dengan Generasi Periwayatan

            Di dalam Ulumul Hadis terdapat istilah-istilah terten-hnliubungan dengan generasi periwayat Hadis. iilah tersebut di antaranya adalah:

1.      Sahabat
a. Pengertian Sahabat
            Kata sahabat (Arab: shahabat), dari segi kebahasaan  musytaq (turunan) dari kata shuhbah yang berarti “orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan waktu dan jumlah”[1] Berdasarkan pengertian inilah para ahli Hadis mengemukakan rumusan definisi Sahabat sebagai berikut:


Orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan Islam dan meninggal dalam keadaan Islam, meskipun di antarai oleh keadaan murtad menurut pendapat yang paling sahih. , .
            Jbn al-Shalah (577-643 H) mengatakan,bahwa yang dimaksud  dengan  Sahabat  di kalangan Ulama Hadis adalah[3]
 



            Setiap Muslim yang melihat Rasulullah SAW adalah Sahabat.
            Imam Al-Bukhari (194-256 H) di dalam kitab Shahih-nya memberikan pengertian Sahabat, sebagai berikut[4]

 




Siapa saja dari umat Islam yang menemani Nabi SAW atau melihatnya, maka dia adalah Sahabat beliau.
            Yang dimaksud dengan melihat (al-ru’yat ) di dalani definisi di atas adalah bertemu (berjumpa) dengan Rasul SAW meskipun tidak melihat beliau, sebagaimana halnya Ibn Ummi Maktum, seorang Sahabat Rasul yang buta.[5]
            Definisi lain yang hampir senada mengatakan, bahwa Sahabat adalah:
 


           
Orang yang bertemu Rasulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, dalam keadaan Islam dan beriman dengan beliau.
            Menurut Ibn Hajar, definisi yang paling tepat adalah[7]:
 



            Setiap orang yang bertemu dengan Nabi SAW, beriman dengan beliau dan mati dalam keadaan Islam
            Ibn Hajar lebih lanjut merinci, bahwa seseorang akan disebut Sahabat manakala ia pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, beriman dengan beliau dan mati dalam keadaan Islam, apakah ia hidup bersama beliau untuk waktu yang lama atau sebentar, meriwayatkan Hadis dari beliau atau tidak, pernah melihat beliau walaupun seben­tar, atau pernah bertemu dengan beliau nairun tidak me­lihat beliau karena buta[8] Kesemuanya itu, menurut Ibn Hajar, adalah Sahabat. Pendapat ini merupak'an pendapat yang dianut oleh jumhur Ulama, dan dipilih oleh ‘Ajjaj ai-Khathib sebagai pendapat yang terkuat, sekaligus sebagai pendapat pribadinya[9].
            Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, sejalan dengan definisi Al-Bukhari dan Ibn Hajar di atas, mengatakan, bahwa yang disebut Sahabat ialah orang yang pemah ber­temu dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman kepadanya walaupun sesaat, baik dia meriwayatkan Hadis dari beliau atau tidak[10].
            Diriwayatkan, bahwa Sa’id ibn al-Musayyab (w. 94 H), salah seorang Fuqaha terkenal di kalangan Tabi'in, mengemukakan definisi yang lebih sempit tentang Saha­bat dengan mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan Sahabat adalah orang yang pernah hidup bersama Ra-sulullah SAW selama satu atau dua tahun dan pernah .berperang bersama beliau sekali atau dua kali[11]. Namun, pendapat ini, menurut ibn al-Jauzi, ditolak oleh keba-nyakan para Ulama Hadis. Karena, para Ularna Hadis se-pakat mengakui status kesahabatan Jarir ibn 'Abd Allah al-Bajali, seorang yang hanya bergaul dengan Nabi SAW dalam waktu yang singkat dan tidak mencapai satu ta­hun[12] Al-Iraqi bahkan menyatakan, bahwa pendapat tersebut tidak benar berasal dari Ibn al-Musayyab, sebab pada sanad riwayat yang menyatakan pendapat Ibn al-Musayyab tersebut terdapat Muhammad Ibn 'Umar al-Waqidi, seorang yang dha'if dan bahkan ada yang me­nyatakan sebagai pembohong dan pemalsu Hadis,[13] dan oleh karena itu, riwayatnya tidak dapat diterima.
            Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas-di samping masih terdapat rumusan-rurnusan lainnya yang pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan yang di atas-pada prinsipnya ada dua unsur yang disepakati oleh para Ulama dalarn menetapkan seseorang untuk disebui seba­gai Sahabat, yaitu:
1)      Dia pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, dan
2)      Pertemuan tersebut terjadi dalam keadaan dia beriman dengan beliau dan meninggal dunianya juga dalam keadaan beriman (Islam).
            Dengan rumusan tersebut, maka rnereka yang tidak pernah bertemu dengan Nabi SAW, atau pernah bertemu tapi tidak dalam keadaan beriman, atau bertemu dalam keadaan beriman namun meninggal dunia tidak dalam keadaan beriman (Islam), ia tidak dapat disebut sebagai sahabat.
b.      Cara untuk mengetahui Sahaba
            Ada beberapa cara yang dipedomani oleh para Ulama ntuk mengetahui seseorang itu adalah Sahabat, yaitu:[14]
1)      Melalui kabar mutawatir yang menyatakan bahwa seseorang itu adalah Sahabat. Contohnya adalah sta­tus ke sahabat dan khalifah yang empat '(Khulafa' al-Rasyidin), dan mereka yang terkenal lainnya, seperti Sahabat yang sepuluh yang dijamin Rasul SAW masuk surga.
2)      Melalui kabar masyhur dan mustafidh, yaitu kabar yang belum mencapai tingkat mutawatir, namun meluas di kalangan masyarakat, seperti kabar yang menyatakan kesahabatan Dhammam ibn Tsa’labah dan TJkasyah ibn Muhshan.
3)      Melalui pemberitaan Sahabat lain yang telah dikenal kesahabatannya melalui cara-cara di atas. Contohnya adalall kesahabatan Hamamah ibn Hamamah al-Dawsi yang diberitakan oleh Abu Musa al-Asy'ari.
4)      Melalui keterangan seorang Tabi'in yang tsiqat (ter-percaya) yang menerangkan seseorang itu adalah Sahabat.
5)      Pengakuan sendiri oleh seorang yang adil bahwa dirinya adalah seorang Sahabat. Pengakuan tersebut hanya dianggap sah dan dapat diterima selama tidak lebih dari seratus tahun sejak wafatnya Rasul SAW. Hal ini berdasarkan pada Hadis Nabi SAW yang menyatakan:
 



           
Apakah yang kamu lihat pada malamriiu ini? Maka sesungguhnya sesudah berlalu seratus tahun. tiadalah yang ting gal dari golongan orang sekarang ini (Sahabat) di atas permukaan bund ini. (HR Bukhari- Muslim).
c.       Keadilan Sahabat
            Para Ulama Hadis sepakat menetapkan bahwa seluruh Sahabat adalah adil.[15] Yang dimaksud dengan keadilan mereka di sini adalall dalam konteks Ilmu Hadis, yaitu ter-peliharanya mereka dari kesengajaan melakukan dusta dalam meriwayatkan Hadis, dari melakukan penukaran pemutarbalikan) Hadis, dan dari perbuatan-perbuatan ain yang menyebabkan tidak diterimanya riwayat mereka.[16] Di antara dalil yang dikemukakan Ulama Hadis dalam aenetapkan keadilan Sahabat adalah QS 2, Al-Baqarah: 43; QS 3, Ali Imran: 110; dan Hadis Nabi SAW riwayat takhari dan Muslim, yang keseluruhannya menvatakan 'ahwa umat Islam yang terbaik adalah mereka yang hidup ada masa Rasulullah SAW.[17]

d.      Al-'Abadillah
            Dari kalangan Sahabat ada yang diberi gelar (dikenal engan sebutan) Al-'Abadillah, yaitu mereka yang berna-la 'Abd Allah. Yang dimaksudkan dengan Al-'Abadillahini daklah mencakup semua Sahabat yang bernama 'Abd-Allah, yang jumlahnya, menurut Ibn Shalah, adalah sekitar 220 orang, tetapi hanya tertuju kepada empat Sahabat aja, yaitu:
1)      'Abd Allah ibn 'Abbas,
2)       'Abd Allah ibn Umar,
3)       'Abd Allah ibn al-Zubair, dan
4)      'AbdAUahibn 'Amr.[18]
            Pengkhususan empat orang Sahabat di atas, menurut Al-Baihaqi, adalah karena keempat orang Sahabat tersebut mempunyai peranan yang besar dalam pemeliharaan Uraian secara rinci mengcnai keadilan Sahabat ini beserta argumentasinya dapat dilihat pada dan penyebarluasan Hadis-Hadis Nabi SAW, baik di kalangan para Sahabat sendiri dan temtama di kalangan pa­ra Tabi'in, sehingga sering muncul dari peristilahan mereka, tatkala mereka membicarakan tentang sesuatu ma-salah, pernyataan "ini adalah perkataan atau perbuatan Al-'Abadillah." Atas dasar itu, maka 'Abd Allah ibn Mas'ud tidak termasuk ke dalam kelompok Al-'Abadillah, karena Ibn Mas'ud paling dulu meninggalnya, sementarakeempat 'Abd Allah di atas hidup sampai masa di mana penge-tahuan mereka dibutuhkan oleh umat Islam (Tabi'in).[19]

2.      Mukhadhramun
            Mukhadhramun adalah bentuk j amak dari mufchadhram, yaitu orang yang hidup pada masa jahiliah dan masa Nabi SAW sertamemeluk agama Islam, namun dia tidak sempat bertemu dengan Nabi SAW.[20] Imam Muslim, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Hakim al-Naisaburi (323 - 405 H), menyebutkan bahwa Mukhadhramun adalah orang-orang yang mendapati masa jahiliah dan tidak sempat bertemu dengan Rasul SAW, namun mereka bersahabat dengan para Sahabat Nabi SAW.[21] Al-Hakim, dan demikian juga Ibn al-Shalah serta'lbn Hajar, memasukkan Mukhadhramun ke dalam kelompok Tabi'in Besar.[22]
            Jumlah Mukchadhramun tersebut, menurut Imam Muslim adalah 20 orang, di antaranya adalah Abu 'Arar al- yang Terdapat ili duiain Uhiniul Hadis
Syaibani, Suwaid ibn Ghaflah al-Kindi, 'Amr ibn Maimun al-Awadis 'Abd Khair ibn Yazid al-Khaiwani, Abu Utsman al-Nahdi, Abd al-Rahman ibn Mullin, Abu al-Halal al-'Atki Rabi'ah ibn Zurarah, dan lain-lain.[23] Akan tetapi, menurut Al-Iraqi jumlah mereka ada sekitar 42 orang, dan Ibn Hajar bahkan mengatakan bahwa jumlah mereka lebih dari itu.[24]

3.      Tabi'in '
            Tabi'in adalah jamak dari Tabi'i atau Tabi', yang secara bahasa berarti "pengikut". Dalam istilah Ilmu Hadis, Tabi'in berarti "orang yang bertemu dengan Sahabat, satu orang atau lebih". Kebanyakan para Ulama Hadis ber-pendapat bahwa Tabi'in adalah setiap orang yang bertemu dengan Sahabat meskipun tidak sampai bergaul dengannya[25]
            Jumlah Tabi'in tidak terhirigga, namun para Ulama sepakat bahwa akhir dari masa Tabi'in adalah tahun 150 H, sedangkan akhir dari masa Atba' aUTabi'in adalah tahun 220 H[26]
            Di antara tokoh Tabi'in terdapat para Ulama yang dikenal dengan sebutan Al-Puqaha' al-Sab'ah (Fuqaha fang Tujuh), yaitu:
1)      Sa'id ibn al-Musayyab (15-94 H),
2)      Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar al-Shiddiq  (37-107H), '
3)       TJrwah ibn al-Zubair (w. 94 H),
4)      Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (29-99 H),
5)      Sulaiman ibn Yasar (34-107 H),
6)      'Ubaid Allah ibn 'Abd Allah ibn 'Utbah ibn Mas'ud (w. 98 H), dan
7)      Abu Salamah ibn 'Abd al-Rahman ibn 'Auf (w. 94 H).
            Ada yang mengatakan, yang termasuk Fuqaha Yang Tujuh ini adalah Salim ibn 'Abd Allah ibn 'Urnar (w. 106 H) dan Abu Bakar ibn 'Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam al-Makhzumi (w. 94 H).[27]

4.      Al-Mutaqaddimun
            Al-Mutaqaddimun adalah salah satu gelar yang diberi-kan kepada Ulama Hadis berdasarkan usaha dan peranan-nya dalam pengembangan dan pengkajian Hadis sertatek-nik yang dipergunakannya dalam mernbina Hadis. Yang dimaksud dengan Al-Mutaqaddimun adalah Ulama Hadis yang hidup pada abad kedua dan ketiga Hijriah[28] yang telah menghimpun Hadis-Hadis Nabi SAW di dalarn kitab-kitab mereka yang mereka dapatkan melalui perlawatan dan kunjungan langsung ke guru-guru mereka, serta mengadakan pemeriksaan dan penelitian sendiri terhadap matan dan para perawi Hadis yang mereka terima. Dalam rangka pemeriksaan dan penelitian suatu Hadis. Mereka kadang-kadang melakukan perlawatan yang cukup jauh an memakan waktu yang relatif lama.
            Menurut Imam Nawawi, para Ulama Mutaqaddimun ini :lah berhasil mengumpulkan keseluruhan Hadis Shahih, kecuali sedikit yang masifa tersisa yang seianjutnya dibu-ukan oleh Ulama yang datang kemudian.
            Di antara Ulama Mutaqaddimun yang telah berhasil icnghimpun Hadis-Hadis Nabi SAW di dalam' kitab mere-a masing-masing adalah:
1) Irnam Ahmad ibn Hanbal (164 - 241 H), (2) Imam ;ukhari (194 - 256 H), (3) Imam Muslim (2204 - 261 H), (4) nam Al-Nasa'i (215 - 303 H), (5) Imam Abu Dawud (202 -76 H), (6) Imam Al-Tirmidzi (209 - 269 H), dan (7) Imam on Majah (209- 276 H).[29]

5.      Al-Muta'akhkhimn
            Ulama Muta'akhkhirun adalah Ulama Hadis yang tidup pada abad keempat Hijriah dan seterusnya. Al-Dzahabi mengatakan bahwa tahun 300 Hijriah adalah ahun pemisah antara Ulama Mutaqaddimun dan Ulama Muta'akhkhirun. Pada umumnya Ulama Muta'akhkhirun nenyusun kitab-kitab mereka dengan mengutip Hadis-hadis yang telah dihimpun oleh Ulama Mutaqaddimun, lan seianjutnya mereka meneliti sanad-sanad-nya dan nenghafalnya.
            Sedikit sekali dari Ulama Muta'akhkhirun yang secara angsung melakukan perlawatan sendiri. Di antara mereka rang melakukan perlawatan sendiri adalah:
1) Imam Al-Hakim (359 - 405 H),
2) Imam Al-Dar al-Quthni (w. 385 H),
3) Imam Ibn Hibban (w. 354 H), dan
4) Imam Al-Thabrani (w. 360 H).[30]

B.      Istilah  yang Berhubungan  dengan  Kegiatan Periwayatan
            Dalam hal periwayatan Hadis Nabi SAW, para Sahabat Nabi tidaklah sama kedudukannya, terutama dalam kai-tannya dengan banyaknya atau jumlah Hadis yang mereka riwayatkan. Di antara mereka ada yang banyak meriwayat-kan Hadis, adayang sedangjumlalinya, dan ada pula yang sedikit.
            Sahabat yang banyak menerima Hadis dari Nabi SAW tidaklah secara otomatis akan meriwayatkan Hadis yang banyak pula. Hal tersebut karena banyaknya faktor yang dapat menghalanginya dari meriwayatkan Hadis yang te-lah diterimanya. Umpamanya, Abu Bakar al-Shiddiq, seorang Sahabat yang banyak menerima Hadis dari Nabi SAW. Abu Bakar, selain sebagai orang yang terdahulu memeluk agama Islam, juga sebagai Sahabat yang sangat dekat pergaulannya dengan Nabi SAW, sehingga keadaan yang demikian menyebabkannya banyak menerima Hadis. Meskipun demikian, Abu Bakar bukanlah termasuk Saha­bat yang banyak meriwayatkan Hadis. Penyebabnya diantarany a adalah:
1.      Setelah Nabi SAW wafat, Abu Bakar disibukkan oleh peperangan untuk menumpas kaum murtad dan anti zakat.
2.      Dalam rnasa pemerintahannya, Abu Bakar lebih mengutamakan pemeliharaan Al-Qur'an.
3.      Abu Bakar telah meninggal dunia sebelurn ummat menaruh perhatian kriusus terhadap Hadis Nabi SAW.

- Al-Muktsimn fi al-Hadits
            Yang dimaksud dengan Al-Muktsirun fi al-Hadits ada-lah para Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadis, yang jumlahnya lebih dari seribu Hadis. Mereka berjumlah tu-juh orang,.yaitu:
1.      'Abd al-Rahman ibn Shakhr al-Dausi al-Yamani r.a. yang iebih dikenal dengan Abu Hurairah (19 SH-59 H). Jumlah Hadis yang diriwayatkannya sebanyak 5.374 Hadis. Di antaranya 325 Hadis disepakati oleh Bukhari-Muslim, 93 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari sendiri, dan 189 Hadis diriwayatkan oleh Muslim.
2.      'Abd Allah ibn Umar ibn al-Khaththab r.a. (10 SH-73 H). Jumlah Hadis yang diriwayatkannya sebanyak 2.630 Hadis. Dari Hadis tersebut, 170 Hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 80 Hadis oleh Bukhari saja, dan 31 Hadis oleh Muslim saja.
3.      Anas Ibn Malik r.a. (10 SH-93 H). Jumlah Hadis yang diriwayatkannya berjumlah 2.286 Hadis. Di antaranya 168 Hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 8 Hadis oleh Bukhari saja, dan 70 Hadis oleh Muslim saja.
4.      'A'isyah binti Abu Bakar r.a. {9 SH-58 H). Hadis yang diriwayatkannya berjumiah 2.210 Hadis. Di antaranya 174 Hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 64 Ha­dis diriwayatkan oleh Bukhari saja, dan 68 Hadis diri-wayatkan oleh Muslim saja.
5.      'Abd Allah ibn 'Abbas ibn 'Abd al-Muththalib r.a. (3 SH-68 H). Hadis yang diriwayatkannya berjumlah 1.660 Hadis. Di antaranya 95 diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 28 Hadis oleh Bukhari saja, dan 49 Hadis oleh Muslim saja.
6.      Jabir ibn Abd Allah al-Anshari r.a. (6 SH-7S H). Hadis yang diriwayatkannya berjumlah 1.540 Hadis. Di an­taranya 60 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Mus­lim. 16 Hadis oleh Bukhari sendiri, dan 126 Hadis oleh Muslim sendiri.
7.      Sa'd ibn Malik ibn Sannan al-Anshari atau yang dikenal dengan Abu Sa'id al-Khudri (12 SH-74 H). Hadis yang diriwayatkannya berjumlah 1.170 Hadis. Di antaranya 46 Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 16 Hadis oleh Bukhari sendiri, dan 52 Hadis oleh Muslim sendiri.[31]

C.      Istilah yang Berhubungan dengan Kepakaran Jumlah Hadis yang Diriwayatkan
Para Ulama Hadis tidaklah sama dalam hal kepakarari dan kemampuannya dalam menguasai dan menghafal Ha­dis. Di antara mereka ada yang berada pada tingkat per-mulaan, yaitu yang sedang mencari dan mempelajari Hadis, dan ada yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dan bahkan sampai tingkat tertinggi, yaitu selain mampu menghafal Hadis yang cukup banyak juga menguasai ilmu-ilmu Dirayah.
            Istilah-istilah yang berhubungan dengan kepakaran seseorang dalam bidang Hadis ini adalah sebagai berikut:[32]

1.      Thalib al-Hadits
            Istilah ini dipergunakan kepada seseorang yang sedang mencari atau mempelajari Hadis. Thalib al-H^dits adalah tingkat kepakaran yang terendah dalam bidang Hadis, yaitu seseorangyangbaru memulai karirnya dalam bidang Hadis.

2.      Al-Musnid
            Yang dimaksud dengan Al-Musnid adalah orang yang tneriwayatkan Hadis dengan menyebutkan sanad-nya, ba­lk dia mengetahui dengan baik tentang keadaan sanad tersebut maupun tidak.

3.      Al-Muhaddits
            Al-Muhaddits adalah gelar yang diberikan kepada arang yang telah mahir dalam bidang Hadis, baik dalam bidang Rituayah, demikian juga dalam bidang Dirayah. Seorang Muhaddits telah mampu membedakan antara Hadis yang Dha'if dan Hadis yang Shahih, mengetahui [Imu-ilmu Hadis dan istilah-istilah ahli Hadis, dan telah. mampu mengetahui yang mu'talif dan mukhtalif. Para Muhaddits umumnya telah menghafal sejumlah 1.000 Hadis, baik matan, sanad, maupun seluk beluk perawi-nya.
Para Ulama banyak yang mencapai gelar Muhaddits ini, di antaranya adalah:
1)      'Atha' ibn Abi Rabah (w. 105 H) seorang mufti di kota Mekah,
2)      Bakar ibn Muzar ibn Muhammad ibn Hakim (w. 188 H), MaulaSyurahbil ibn Hasanah,
3)      Husayn ibn Basyir ibn Abi Hazim Qasim ibn Dunar (w. 188 H), :
4)      Ibn Jarir ibn Yasir ibn Katsir, Abu Yala al-Thabari (w. 305 H). "
5)      Muhammad al-Murtadha al-Zabidi, dan lain-lain.

4.      Al-Hafiz
            Al-Haftzh adalah gelar Ulama Hadis yang kepakarannya berada di atas Al-Muhaddits. Seorang Hafizh telah mampu menghafal sejumlah 100,000 Hadis lengkap dengan matan dan sanad-nya, serta sifat-sifat perawinya, baik dari segi jar ah maupun ta'dil.
            Di antara Ulama Hadis yang bergelar Al-Hafizh adalah:
1)      Al-Hafizh Abu Bakar Muhammad ibn Muslim ibn TJbaid Allah ibn 'Abd Allah ibn Syihab al-Zuhri (w. 136 H),
2)      Al-Hafizh ibn Khaitsam., Zubair ibn Harb al-Nasa'i (w. 334 H), ahli Hadis di Baghdad.
3)      Al-Hafizh Abu Hatim Muhammad ibn Hibban (w, 354
4)      Al-Hafizh Abu al-Fadhl, Syihab al-Diri Ahmad ibn 'All ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Hajar al-'Asqalani (w. 852 H).
5)      Al-Hafizh Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H), dan lain-lain.

5.      Al-Hujfah
            Al-Hujjah adalah gelar kepakaran dalam bidang Hadis yang lebih tinggi dari Al-Hafizh. Seorang Hujjah dengan keluasan dan keteguhan hafalannya telah menjadi ruju-kan dalam ber-hwyahbagi para Hafizh. Pada level ini, sese-orang telah mampu menghafal sejumlah 300.000 Hadis lengkap dengan rnatan dan sanad-nya., serta mengetahui keadaan para perawinya dari segijarh dan ta'dil-nya.
            Di antara Ularna yang telah mencapai gelar kepakaran ini adalah:
1)      Hisyam ibn 'Urwah ibn Zubair ibn 'Awwani (w. 164 H).
2)      Hisyam ibn Zakwan al-Bashri (w. 140 H),'
3)      Basyar ibn al-Mufadhdhil ibn Lahiq (w. 183 H), seorang guru dari Ahmad ibn Hanbal,
4)      Muhammad ibn 'Abd Allah ibn 'Amr (w. 242 H),
5)      Muhammad ibn Salamah al-Bazzar (w. 286 H), teman seperguruan Imam Muslim, dan lain-lain.

6.      Al-Hakim
            Al-Hakim adalah gelar Ulama Hadis yang memiliki tingkat kepakaran lebih tinggi daripada Al-Hujjah. Pada tingkat ini, seorang Ulama Hadis benar-benar telah. menguasai Hadis-Hadis yang diriwayatkannya, baik segi matan dan sanad-nya, sifat-sifat para perawinya dari jarh dan ta'dil -nya, bahkan dia juga mengenai secara baik mengenai sejarah hidup setiap perawi, termasuk sifat-sifatnya dan guru-gurunya. Selain itu, seorang yang telah sampai ke tingkat ini, telah mampu menghafal dengan baik lebih dari 300.000 Hadis Nabi SAW beserta urutan sanad-nya dan seluk-beluk mengenai perawinya dan sebagainya yang berkaitan dengan Hadis-Hadis tersebut.
            Di antara Ulama yang bergelar Al-Hakim   adalah:
1)      Sufyan al-Tsauri (w. 161 H),   
2)      Al-Laitsibn Sa'd (w. 175 H),
3)      Malikibn Anas (w. 179 H),
4)      Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (w. 204 H), 5}   Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), dan lain-lain.



7.      Amir al-Mu'mininfi al-Hadits
            Gelar ini adalah gelaran yang tertinggi dalam kepa-karan seorang Ulama Hadis. Pada tingkat ini, seseorang benar-benar telah diakui, bahkan namanya telah termasyhur di kalangan para Ulama mengenai kepakarannya da­lam bidang Hadis, sehingga dia menjadi imam dan ikutan bagi umat di masanya.
            Di antara Ulama yang mendapat gelar tertinggi ini adalah:
1)      'Abd al-Rahman ibn 'Abd Allah ibn Dzakwan al-Madani (AbuZinad) (w. 131 H),
2)      Sufyan al-Tsauri (w. 161 H],
3)      Malik ibn Anas (w. 179 H),
4)      Ahmad ib Hanbal (w. 241 H),
5)      Imam Al-Bukhari (w. 256 H), dan lain-lain.

D.  Istilah   yang   berhubungan   dengan   Sumber Pengutipan
            Di dalam Ilmu Hadis dikenal beberapa istilah yang berhubungan dengan sumber pengutipan Hadis. Istilah-istilah tersebut adalah:
1.      Akhrajahu al-Sab’ah
            Istilah ini umumnya mengiringi matan dari suatu Ha­dis. Hal tersebut berarti bahwa Hadis yang disebutkan ter-dahulu diriwiyatkan oleh tujuh Ulama atau perawi Hadis, yaitu Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, dan Ibn Majah.

2.      Akhrajahu Al-Khamsah atau juga Akhrqjahu Ahmad
            Maksudnya adalah bahwa matan Hadis yang disebut­kan bersarnanya diriwayatkan oleh lima orang Imam Ha­dis, yaitu: Ahmad, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, AI-Nasa'i, dan Ibn Majah. .

3.      Akhraja.hu al-Arba'ak atau Akhra.ja.hu Ashhab at-Sunan
            Bahwa matan Hadis yang disebutkan dengannya diri­wayatkan oleh empat orang Imam Hadis, yaitu penyusun Kitab-kitab Sunan, yang terdiri atas: Abu Dawud, Ai-Tirmidzi, Al-Nasa'i, dan Ibn Majah.

4.      Muttafaq Alaihi
            Maksudnya, bahwaVna'tan Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dengan ketentuan bahwa sanad terakhirnya, yaitu di.tingkat Sahabat, bertemu.
            Perbedaannya dengan Akhrajahu al-Bukhari wa Muslim adalah, bahwa yang disebut terakhir, matan Hadisnya diri­wayatkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi sanad- nya ber-beda pada tingkatan Sahabat, yaitu di tingkat Sahabat ke-dua sand tersebut tidak bertemu. Istilah yang terakhir ini sama dengan Rawahu al-Syaykhan, Akhrajahu al-Sy ay khan, atau Rawahu Al-Bukhari wa Muslim.

5.        Akhrajahu at-Jama'ah
            Maksudnya, bahwa matan. Hadis tersebut diriwayatkan oleh jemaah ahli Hadis.
         Pengertian istilah-istilah di atas adalah menurut Ibn Hajar al-'Asqalani di dalam Bulugh al-Maram dan Muhammad ibn Ismail al-Shan'ani di dalam  Subul al-Salam, yaitu syarah dari Bulugh al-Maram[33]
            Sedangkan menurut Ibn Taimiyyah, sebagaimanayang dijelaskan oleh Al-Syawkani di dalam Nail al-Awthar, ter-dapat beberapa perbedaan. Yaitu, yang dimaksud dengan Rawahu al-Jama'ah, adalah sama dengan Akhrajahu al-Sab'ah, yakni Irnani Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Al-Nasa'i, dan Ibn Majah; dan istilah Muttafaq 'Alaih, menurutnya adalah Ahmad, Bukhari, dan Muslim.[34]
            Perbedaan juga terjadi dibandingkan dengan istilah yang dikemukakan oleh Syeikh Manshur 'Ali Nashif di da­lam Al-Taj al-Jami'. Menurut beliau, yang dimaksud de­ngan:
1)      Akhrajahu al-Khamsah adalah bahwa perawi Hadis tersebut terdiri atas Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i.
2)      Akhrajahu al-Arba'ah adalah bahwa Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi.
3)      Akhrajahu Ashhab al-Sunan adalah bahwa Hadis tersebut diriwayatkan oleh tiga orang, yaitu Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i. Dengan demikian, istilah ini tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh Ibn Hajar dan Ai-Shan'ani.





[1] M. 'Ajjaj al-Khathib, Al-Stmnah qabl al-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), h. 387.
[2] Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits (Beirut: Dar Al-Qur'an al-Karim, 1979), h. 197.
[3] Ibn al-Shalah, 'Uliim al-Hadits. Ed. Nur al-Din ‘Atar (Madinah: Al-Maktabat al-'llmiyyah, Get. Kedua: 1 972), h. 263
[4] Bukhari ,Shahili Al-Bukliari (Beirut: Dar al-Fikr; 1401 H/I98I M) , 8 juz: juz 4, h. 188.
[5] Ibid,   Jaial ai-Din al-Suyulhi. Tadrib al-Rawi j'i Syarh Taqrib Al-Nawawi,   Ed. 'Irfiin AI-'Asysyahassunah (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993), h. 374.
[6] Syuluidi Ismail, Pengantar Jlmu Hadits.  h. 29.
[7] Ibn Hajar al-Asqalani, Kitab ul-lshabah fi Tarnyiz al-Shahabah.  (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), juz I, h. 10 ' Ajjaj ai-Khathib, Al-Sunnah, h. 389; Id. Ushulal-Hadiis, h. 387.
[8] Ibn Hajar aI-Asqa!aiii, Kitab al-lshabah juz 1. h. 10.

[9].'Aijaj al-Khathib, Al-Sunnah, h. 389-390.
[10] Muhammad Jamal a!-Din al-Qasimi, Oawa 'idal-Tahdits min Fiinun al-Mushthalahatal-Hadits
    (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1979), h. 200
[11] Ibn al-Shalah. 'iliumal-Hadits, h. 263; Al-Suyuthi, Tadi-ibal-Rcnvi, h. 375; 'Ajjaj al-K.hath.ib,al-Sunnah qabl at-Tadwin. h. 388.
[12] 'Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin. h. 389.
[13] Al-Suyuthi, Tadlrib al-Rawi, h. 376. Mengenai status ke-dha 'if-an Al-Waqidi dinyatakan oleh beberapa orang kritikus Hadis, di antaranya: Ahmad ibn Hanbal menyatakan bahwa dia (A1-Waqidi) adalah seorang pembohong (kadzdzab),   yang memutarbalikkan Hadis-Hadis Nabi SAW; Ibn Ma' in menyatakan, dia tidak tsiqat: Al-Nasa' i menyatakan bahwa dia adalah pembuat Hadis palsu. Lebih-lanjut tentang Al-Waqidi ini lihat Al-Dzahabi, Mizan al-l'tidalfi Naqdal- Rijal. Ed. Ali Muhammad al-Bajawi (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1382 H/1963 M): juz 3, h. 662-663; Ibn Hajar, Kilab Talidzib al-Tahdzib (Beirut; Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M), 10 juz:juz 7, h. 342-346.
[14] Ibn al-Shalah, 'Uliim al-Hadits. h. 264; A!-Suyuthi. Tadrib al-Rawi. h. 376-377; 'Ajjaj-al-Khathib, Ushul al-Hadits. h. 391-392; Ai-Thahhan, Taisir. h. 197 - 198; Syuhtidi Ismail, Pengantar limn Haclits. h. 30-3 1.
[15] Ibn al-Shalah.   Vlum al-Hadils, h. 264-265.
[16] Al-Thahhan, Taisrr,   h 198.

[17] Uraian secara rinci mengenai keadilan Sahabat ini beserta argumentasinya dapat dilihat pada Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, h. 377-378
[18] Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, h. 266
[19] Ibid
[20] Ibid, h.273.
[21] Al-Hakim, Kitab Ma'rifat 'Uhnn al-Hadits (Madinah: ai-Maktabat al-'Hmiyyah, cet. kedua, 1397 H/1977 M), h. 44.
[22] Ibid.; Ibn al-Shalah, -'Ulum al-Hadits. h. 273
[23] Ibid.; Ibn al-Shalah, -'Ulum al-Hadits. h. 273
[24] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, h. 31-32
[25] Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, h. 271; ‘Aijaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 410
[26] Ajjaj al-Khatib, Usmul al-Hadits, h. 411
[27] Ibid. h. 412; Al-Thahhan, Taisir. h. 202; Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, h. 396.
[28] Periode Ulama Al-Mutaqaddimun, menurut A!-Dzahabi, berakhir pada tahun 300 H. Lihat H.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokokllmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). jilid 11, h. 34, 53.
[29] Syuhudi Ismail, fenganlar Ilimi Hadits. h. 36-37.

[30] Ibid., h. 36.

[31] Ajjaj al-Khathib. Ushul al-Hadi/s.  h. 404 - 405; Syuhudi Ismail, Penganlar limit Hadits, 34-35.

[32] Lihat Ajjaj ai-Khathib. Ushul al-Hadits, h. 448-449; A!-Thahhan, Taisir. h. 16; T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok limit Dirayah Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), jilid II, h. 384-394; Syuhudi Ismail. Pengantar limit Hadits, h. 37-39.


[33] Muhammad ibn Isma'il al-Shaivani, Subulal-Salam (Mesir: Mushhafaal-Babi al-Halabi, cet. kedua, 1369 H/ 1950 M), juz 1, h. 10-13.

[34] Muhammad ibn 'Ali ibn Muhammad al-Syawkani, Nail al-A\vthar Syarh Mimtaqaal-Akhbar (Beirut: Daral-Fikr, 1403 H/1983 M),juz 1, h. 14.